Selasa, 19 Oktober 2010

KATA DOKTER, KITA HARUS HATI-HATI PADA DOKTER

Ini mungkin tulisan yang cukup 'aneh'. Kok bisa, seorang dokter justru meminta kepada pasien untuk berhati-hati pada dokter. Tetapi inilah saran yang diberikan oleh dokter Billy sebagaimana ditulis dalam "Konsul Sehat" (http://konsulsehat/. web.id). Konsul sehat merupakan situs untuk kemajuan edukasi masyarakat di bidang kesehatan.




Seperti yang diceritakan Billy dalam artikel tersebut, selama beberapa hari dokter Billy mengurusi abangnya yang sakit demam berdarah (DBD). Dokter ini membuatkan surat pengantar untuk dirawat inap di salah satu, RS swasta yang terkenal cukup baik pelayanannya. Sejak masuk UGD Billy menemani sampai masuk ke kamar perawatan, dan setiap hari dia menunggui, jadi dia sangat tahu perkembangan kondisi abangnya.



"Abang saya paksa untuk rawat inap karenatrombositnya 82 ribu. Agak mengkhawatirkan," katanya. Padahal sebenarnya si abang menolak karena merasa diri sudah sehat, tidak demam, tidak mual; hanya merasa badannya agak lemas.



Mulai di UGD Billy sudah merasa ada yang 'mencurigakan'. Karena Billy tidak menyatakan bahwa dia dokter pada petugas di RS, jadi dia bisa dengar berbagai keterangan/penjelasan dan pertanyaan dari dokter dan perawat yang menurutnya 'menggelikan'. Pasien pun diperiksa uiang darahnya. Ini masih bisa diterima, hasil trombositnya tetap sama, 82 ribu.



Ketika abangnya akan di-EKG, si abang sudah mulai 'ribut' karena Desember lalu baru tes EKG dengan treadmill dengan hasil sangat baik. Lalu Billy menenangkan bahwa itu prosedur di RS. Tetapi yang membuat Billy heran adalah si Abang harus disuntik obat Ranitidin (obat untuk penyakit lambung), padahal dia tidak sakit lambung, dan tidak mengeluh perih sama sekali. Obat ini disuntikkan ketika Billy mengantarkan sampel darah ke lab.



Oleh dokter jaga diberi resep untuk dibeli, diresepkan untuk tiga hari, padahal besok paginya dokter penyakit dalam akan berkunjung, dan biasanya obatnya pasti ganti lagi. Belum lagi resepnya pun isinya tidak tepat untuk DBD. Jadi resep tidak dibeli, Dokter penyakit dalamnya setelah ditanya ke teman yang praktik di RS tersebut, katanya dipilihkan yang dia rekomendasikan, katanya 'bagus dan pintar', ditambah lagi dia dokter tetap di RS tersebut, jadi pagi-sore selalu ada di RS.



Malamnya via telepon dokter penyakit dalam memberi instruksi periksa lab macam-macam, setelah Billy lihat banyak yang 'nggak nyambung', jadi Billy minta Abang untuk hanya setujui sebagian yang masih rasional.



Besoknya, Billy datang ke RS agak siang. Dokter penyakit dalam sudah visite dan tidak komentar apapun soal pemeriksaan lab yang ditolak. Billy diminta perawat untuk menebus resep ke apotek. Ketika Billy melihat resepnya, dia langsung bingung. Di resep tertulis obat Ondansetron suntik, obat mual/muntah untuk orang yang sakit kanker dan menjalani kemoterapi. Padahal Abangnya tidak mual apalagi muntah sama sekali. Tertulis juga Ranitidin suntik, yang tidak perlu karena Abang tidak sakit lambung. Bahkan parasetamol bermerek pun diresepkan lagi padahal Abang sudah ngomong kalau dia sudah punya banyak.



Karena bingung, Billy sampai cek di internet, apa ada protokol baru penanganan DBD yang dia lewatkah atau kegunaah baru dari Ondansetron. Ternyata tidak. Akhirnya Billy hanya membeli suplemen vitamin saja dari resep.



Pas Billy menyerahkan obat ke perawat, dia tanya 'obat suntiknya mana?' Billy jawab bahwa pasien tidak setuju diberi obat-obat itu. Perawatnya malah seperti menantang, akhirnya dengan terpaksaBilly beritau bahwa dia dokter, dan dia yang merujuk pasien ke RS. "Abang saya menolak obat-obat . itu setelah tanya pada saya. Malah saya dipanggil ke nurse station dan diminta tandatangani surat refusal consent (penolakan pengobatan) oleh kepala perawat," papar Billy.



"Saya beritau saja bahwa pasien 100% sadar, jadi harus pasien yang tandatangani, itu pun setelah dijelaskan oleh dokternya langsung. Sementara dokter saat visite nggak jelaskan apapun mengenai obat-obat yang dia berikan. Saya tinggalkan kepala perawat tersebut yang 'bengong'," katanya.



Saat Billy menunggu Abangnya itu, pasien di sebelah ranjangnya temyata sakit DBD juga. Ternyata dia sudah diresepkan 5 botol antibiotik infus yang mahal dan sudah 2 dipakai, padahal kondisi fisik dan nasil lab tidak mendukung dia ada infeksi bakteri. Pasien tersebut ditangani oleh dokter penyakit dalam yang lain. Saat dokter penyakit dalam pasien tersebut visite, dia hanya ngomong 'sakit ya?', 'masih panas?', 'ya sudah lanjutkan saja dulu terapinya', visite nggak sampai tiga menit.



Besoknya dokter penyakit dalam yang menangani Abangnya Billy visite kembali dan tidak komentar apapun soal penolakan membeli obat yang dia resepkan. Dia hanya ngomong bahwa kalau trombositnya sudah naik maka bdleh pulang.



"Saya jadi membayangkan nggak heran Ponari dkk laris, karena dokter pun ternyata pengobatannya nggak rasional, Kasihan banyak pasien yang terpaksa diracun oleh obat-obat yang nggak diperlukan dan dibuat 'miskin' untuk membeli obat-obat yang mahal tersebut. Ini belum termasuk dokter ahli yang sudah 'dibayar' cukup mahal ternyata nggak banyak menjelaskan pada pasien sementara kadang kala keluarga sengaja berkumpul & menunggu berjam-jam hanya untuk menunggu dokter visite," papar dokter Billy.



Beberapa waktu sebelumnya Billy juga pernah menunggui saudaranya yang lain yang dirawat inap di salah satu RS swasta yang katanya terbaik di salah satu kota kecil di Jateng akibat sakit tifoid. Kejadian serupa terjadi pula, sangat banyak obat yang tidak rasional diresepkan oleh dokter penyakit dalamnya.

"Kalau ini nggak segera dibereskan, saya nggak bisa menyalahkan masyarakat kalau mereka lebih memilih pengobatan alternatif atau berobat ke LN. Semoga bisa berguna sebagai pelajaran berharga untuk rekan-rekan semua agar berhati-hati dan kritis pada pengobatan dokter," tulis Billy menutup artikelnya.



Pertanyaan kita sekarang, apakah semua pasien harus ditunggui oleh saudaranya yang dokter supaya tidak dapat pengobatan sembarangan?

18 komentar:

  1. izin copas ya, bagus sekali buat menambah pengalaman supaya tidak ada yg terulang kembali setelah membaca artikel ini..

    BalasHapus
  2. Bagus sekali, mohon izin copas untuk info kepada sahabat yang lain. dalam big pharma big bucks diungkap lebih parah lagi. two thumbs up

    BalasHapus
  3. pokoknya ikhtiar untuk pengobatan bagi kaum muslimin adalah Thibbunnabawy... selain pengobatan naby itu adalah pengobatan Alternatif...
    Berhati-hatilah ma pengobatan modern... ini industri dajjal.. !! :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dlm dunia medis,Tahun 70an tu andalannya dg Vitamin,Tahun 80an muncul penemuan baru namanya Herbal,Tahun 90an muncul lg penumuan baru namanya Antioxidan,Tahun 2000 mncul lg trbaru teraman dg Molekul Imun

      Hapus
  4. betul sekali harus hati hati :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dlm dunia medis,Tahun 70an tu andalannya dg Vitamin,Tahun 80an muncul penemuan baru namanya Herbal,Tahun 90an muncul lg penumuan baru namanya Antioxidan,Tahun 2000 mncul lg trbaru teraman dg Molekul Imun

      Hapus
  5. saya juga mengalami hal yg sama pada nenek saya yg sakit dan dirujuk... Ijin copas ya.

    BalasHapus
  6. Trimakasih..
    Sangat bermanfaat, informasi ini harus disebarluaskan agar masyarakat menjadi cerdas dan tidak mudah diperdaya oleh dokter yang tidak bertanggungjawab. Karena ilmu kedokteran medis tidak menyembuhkan, tapi menghilangkan rasa sakit/menunda efek penyakit untuk sementara waktu. Kedepannya pasti muncul lagi... Dokter banyak juga yang tidak mau memberikan resep demikian pada keluarganya sendiri, tapi buat orang lain mereka tidak ambil pusing... profit oriented... toh bukan siapa-siapanya...

    BalasHapus
  7. Duh, mengerikan sekali. Terima kasih sudah disharing ke kita semua. Kita mesti hati-hati dengan obat-obatan. Karena obat-obatan itu adalah zat kimia yang bisa berdampak bahaya buat tubuh kita. Seperti dimuat dalam http://goo.gl/lOsV1n , bahwa tanpa kita sadari lebih dari 50% obat-obatan tidak diresepkan dan dijual
    dengan tepat dan 50% pasien tidak minum obat sesuai dengan aturan (WHO, 2004).

    BalasHapus
  8. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  9. Siapapun yang sekolah kedokteran akan tau bahwa obat kimia farma itu adalah toxin bg anatomi manusia,hewan mamalia bahkan tumbuhan. Kenyataannya gmn..ya bgnilah indonesia. Jangankan ttg bahaya obat kimia bg tubuh(dr dokter manapun/siapapun),tumbuhan padi saja beda banget antara Beras Organik(dr bibit awal hingga panen tdk disentuh pupuk kimia apapun) dg Beras non organik(dipupuk kimia sperti ZA/Urea/apapun)..trus kenyataannya tindakan pemerintah gimana?????????????? Mnkin scara psikologis ada benarnya dg brkata maklum indonesia negara bekas jajahan..mentalnyapun bisa kt lihat..daru masyarakat sdh tau,beli obat dg resep dokter itu jauh banget dg harga sebenarnya..masyarakat jg sudah tau memang ada kerjasama dokter dg kimiafarma yakni stiap resep yg ia tulis ada bonus/fee yg kan masuk ke Rek.Bank para dokter..aplg ada kontrak dg obat trtntu...itu lagu lama...sampai kapan orang sakit akn ditindas bgtu dg system medis yg ada..sampai kapan???? Dinegara trtentu seorng dokter kurang tepat(bukan salah)mmeberi resep sj bisa dituntut..nah dinegeri kita???????

    BalasHapus
  10. Lap manapun bs mmbuktikan Beras Non Organik(Tumbuh trus panen dg pupuk kimia)itu POTENSI BAGI DIABETES...kalo ada yg nanyak kenapa Distributor Pupuk Kimia masih ada..ya tanyak aja Produsennya atau instansi trkait. Trus yg kan disalahkn siapa..?????? PR bg siapapun trutama Pemerintah!!!

    BalasHapus
  11. Sy ingin tau makna teroris yg sebenarnya itu bagaimana(pd manusia/hewan/lingkungan/appn)???

    BalasHapus
  12. dhoharol fasadu fil barri wal bahri bima kasabat aidin nas(i)

    liyudziqohum ba'dhol-ladzi 'amilu la'al-lahum yarji'un(a)

    Telah tampak kerusakan dai darat dan di laut disebabkan perbuatan
    tangan manusia.

    (Alloh menghendaki) agar mereka merasakan sebagian dari akibat
    perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

    (QS 30 Ar Rum ayat 41)

    BalasHapus